Saungmaman.com - Pro Kontra Rencana Biaya Isi Ulang e-money
Menurut Tulus Abadi, kondisi ‘cashless society’ memang sejalan dengan fenomena ekonomi digital saat ini. Namun, akan menjadi kontra produktif jika BI justru mengeluarkan peraturan yang mengharuskan konsumen mengeluarkan biaya setiap kali melakukan isi ulang pada uang elektroniknya.
Akhir-akhir ini ramai diberitakan di media massa mengenai rencana Bank Indonesia untuk mengenakan biaya tarif isi ulang (fee top up) uang elektronik atau e-money dalam waktu dekat. Tentu saja kabar yang kurang membahagiakan ini mendapat banyak respon negatif dari para warga masyarakat dan lembaga yang peduli akan kebutuhan konsumen. Rencana tersebut dirasa tidak sesuai dengan kampanye penggunaan mata uang elektronik yang bertujuan untuk efisiensi dan memudahkan transaksi secara nontunai.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam siaran persnya mengatakan, kalau aturan BI tersebut merupakan sesuatu yang kontraproduktif dengan tujuan penciptaan kondisi “cashlesssociety”. Menurutnya upaya mewujudkan transaksi nontunai adalah memiliki tujuan demi efisiensi pelayanan dan keamanan dalam bertransaksi.
Baca juga: Jenis Metode Pembayaran Online Paling Banyak DigunakanSalah satu lembaga yang langsung menentang kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat itu adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam siaran persnya mengatakan, kalau aturan BI tersebut merupakan sesuatu yang kontraproduktif dengan tujuan penciptaan kondisi “cashlesssociety”. Menurutnya upaya mewujudkan transaksi nontunai adalah memiliki tujuan demi efisiensi pelayanan dan keamanan dalam bertransaksi.
Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, maka sektor perbankan akan lebih diuntungkan dengan adanya ‘cashless society’ ketimbang konsumen. Perbankan sudah menerima uang di muka, sementara transaksi atau pembelian belum dinikmati oleh konsumen.
Rasanya tidak adil dan kurang pantas jika konsumen harus diberikan disinsentif berupa biaya ‘top-up’. Justru dengan model uang elektronik seharusnya konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif. Demikian menurut Tulus Abadi.
Ia menilai alangkah lebih bijak bila pengenaan biaya isi ulang e-money hanya dibebankan jika konsumen menggunakan data bank yang berbeda dengan uang elektronik yang digunakan. Hal yang demikian merupakan sesuatu yang wajar dan lumrah terjadi seperti juga dalam transaksi perbankan selama ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, bahwa Bank Indonesia (BI) dalam waktu dekat berencana menerbitkan aturan pengenaan biaya tarif isi ulang (fee top up) uang elektronik atau e-money. Saat ini, aturan yang akan tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) tersebut masih dalam tahap pembahasan sebelum diputuskan kemudian.
Bank-bank Nasional seperti PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BNI) kini tengah menunggu keputusan BI terkait pemberlakuan rencana tersebut. Bank berplat merah tersebut memutuskan akan mengikuti apapun keputusan yang diambil oleh BI nanti.
Demikian informasi singkat mengenai Pro Kontra Rencana Biaya Isi Ulang e-money ini, semoga bermanfaat.
Demikian informasi singkat mengenai Pro Kontra Rencana Biaya Isi Ulang e-money ini, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar